Albertus Patty (Dokpri) |
Oleh : Albertus Patty
Jumat, 28 Agustus 2020, 10:42 WIB
Sahabat saya, Kyai Faqih Abdul Kodir menyambut urun rembuk saya dan Kyai Mamang Haerudin dengan tulisan: "Benarkah hanya beragama yang makmur (mewah-kaya- atau layak) yang direstui dan harus didorong semua ke situ?"Tulisannya memperkaya dan meramaikan urun rembug saya dan Kyai Mamang Haerudin. Agar lebih ramai lagi, ijinkan saya memberikan sedikit catatan. Moga berkenan.
Kyai Faqih mengatakan bahwa cara beragama itu bisa beragam. tidak hanya dengan cara makmur lalu beramal (sedekah) sebanyak mungkin, tetapi bisa dengan cara tidak makmur, lalu beramal dengan cara lain. Misalnya sedekah ilmu, karya, dan peran. Singkatnya adalah orang bebas memilih antara mau menjadi makmur atau memilih tetap miskin. Yang terpenting adalah baik makmur maupun miskin dijalani dengan kesadaran dan integritas.
Kyai Faqih menulis:" Keduanya adalah pilihan baik, selama yang makmur maupun yang tidak makmur berintegritas dengan nilai-nilai mulia agama, jujur, tidak curang, tidak korupsi, tidak menyakiti, bersabar, bersyukur, dan banyak lagi. Integritas inilah yang menjadi tolok ukur, bukan seberapa besar kemakmuran (kekayaan) seseorang. Bukan. Tapi seberapa integritas tersebut dipegang, dijalankan, dan diwujudkan. Inilah akhlak mulia itu."
Dalam tulisan selanjutnya, Kyai Faqih memberi contoh berbagai tokoh, termasuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang memilih hidup dalam kesederhanaan atau kemiskinan. Saya salut pada Nabi dan pada siapa pun yang dengan bebas memilih menjadi miskin. Padahal kita hidup di tengah nafsu dan kecenderungan banyak orang untuk mengejar kekayaan dan kemakmuran. "Inilah era ketamakan," kata Stiglistz, peraih Nobel Ekonomi. Nah, mereka yang memilih menjadi miskin itu mampu membebaskan dirinya DALAM kemiskinan. Mereka mampu mengontrol nafsu dan hasratnya. Mereka manusia bebas. Merdeka! Kesederhanaan atau kemiskinan adalah pilihan mereka sendiri. Inilah pembebasan dalam kemiskinan! Kita tidak akan mempersoalkan pilihan seseorang. Persoalannya tidak berhenti sampai di sini.
Persoalan besar yang kita hadapi adalah banyak orang yang memang dibelenggu oleh kemiskinan. Mereka dipaksa menjadi miskin! Miskinnya mereka bukanlah pilihan! Mereka mengalami ketidakadilan dan penindasan struktural. By designed! Mereka menjadi miskin bukan saja karena ketamakan orang lain. Lebih dari itu, mereka miskin, mengutip Stiglitz, karena kebijakan politik.
Para ekonom boleh saja bekerja keras untuk memperbesar kue ekonomi. Para politisilah yang membuat kebijakan untuk membagi kue itu. Pembagian inilah yang selalu menghasilkan ketidakadilan. Ini persoalan besar yang menyembunyikan bahaya laten. Revolusi Perancis, Peristiwa Tritura, dan runtuhnya Orde Baru adalah efek dari meledaknya bahaya laten itu.
Bagaimana agama menyikapi kemiskinan yang muncul oleh karena ketidakadilan ini? Ternyata beragam! Pertama, teologi kemakmuran atau teologi sukses akan menyalahkan kaum miskin. Kemiskinan mereka itu diakibatkan oleh dosa yang mereka perbuat. Kemiskinan adalah hukuman Tuhan.
Sikap kedua, agama bersikap netral terhadap persoalan kemiskinan. Mengapa? Alasannya karena agama menganggap itu bukan urusannya. Urusan agama adalah soal rohani dan soal keselamatan di seberang sana. Sedangkan kemiskinan adalah soal jasmani. Soal duniawi ini seharusnya ditangani oleh pemerintah. Inilah akar dari sikap apatis institusi agama. Efeknya, kehadiran institusi agama ini sama sekali tidak ada relevansinya bagi orang-orang miskin dan kaum marjinal. Agama menjadi elitis, material dan spiritual.
Sikap Ketiga, agama berjuang dan berpihak kepada mereka yang miskin. Sayangnya perjuangan dan aksinya sangat terbatas. Kebanyakan institusi agama atau lembaga-lembaga sosial keagamaan menolong orang miskin secara karitatif. Artinya, orang miskin diberi bantuan makanan, minuman dan kebutuhan ala kadarnya. Efeknya, mereka menjadi orang-orang yang malas. Mereka menjadi manusia yang tergantung pada bantuan orang lain. Dalam bantuan karitatif itu terjadi semacam simbiosis mutualistis. Yang miskin mendapatkan bantuan ekonomi. Yang kaya dan terutama yang memberi bantuan, mendapatkan kepuasan spiritual, merasa menjadi 'anak saleh!'
Para teolog pembebasan sadar bahwa merski bantuan karitatif atau bantuan langsung itu penting. Tetapi tidak cukup. Bantuan seperti itu tidak membebaskan orang miskin dari kemiskinannya. Padahal mereka butuh pembebasan DARI kemiskinan. Harus aksi yang lebih substanstif! Nah, apa yang harus dilakukan? Dua hal. Pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bukan beri ikan, tetapi berikan pancing. Hal lain adalah transformasi struktural! Untuk yang kedua ini, agama harus mempengaruhi berbagai kebijakan politik agar kebijakan itu berpihak pada kebaikan semua. Tidak ada satu pun yang dimarjinalkan. Saat menjadi Gubernur DKI, Ahok memiliki istilah bagus, yaitu mengadimistrasikan keadilan. Artinya menjadikan keadilan bagi semua sebagai kebijakan publik.
Meskipun demikian, upaya mempengaruhi kebijakan publik ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangannya sangat berat! Salah satunya adalah karena berbagai keputusan politik menyangkut kebijakan publik selalu dipengaruhi oleh kepentingan kaum elite politik dan kaum oligarki. Ini persoalan serius dan besar. Tetapi ini topik baru yang dibahas pada kesempatan lain saja.
Salam untuk Kyai Faqih Abdul Kodir dan Kyai Mamang Haerudin.
Sahabat saya, Kyai Faqih Abdul Kodir menyambut urun rembuk saya dan Kyai Mamang Haerudin dengan tulisan: "Benarkah hanya beragama yang makmur (mewah-kaya- atau layak) yang direstui dan harus didorong semua ke situ?"Tulisannya memperkaya dan meramaikan urun rembug saya dan Kyai Mamang Haerudin. Agar lebih ramai lagi, ijinkan saya memberikan sedikit catatan. Moga berkenan.
Kyai Faqih mengatakan bahwa cara beragama itu bisa beragam. tidak hanya dengan cara makmur lalu beramal (sedekah) sebanyak mungkin, tetapi bisa dengan cara tidak makmur, lalu beramal dengan cara lain. Misalnya sedekah ilmu, karya, dan peran. Singkatnya adalah orang bebas memilih antara mau menjadi makmur atau memilih tetap miskin. Yang terpenting adalah baik makmur maupun miskin dijalani dengan kesadaran dan integritas.
Kyai Faqih menulis:" Keduanya adalah pilihan baik, selama yang makmur maupun yang tidak makmur berintegritas dengan nilai-nilai mulia agama, jujur, tidak curang, tidak korupsi, tidak menyakiti, bersabar, bersyukur, dan banyak lagi. Integritas inilah yang menjadi tolok ukur, bukan seberapa besar kemakmuran (kekayaan) seseorang. Bukan. Tapi seberapa integritas tersebut dipegang, dijalankan, dan diwujudkan. Inilah akhlak mulia itu."
Dalam tulisan selanjutnya, Kyai Faqih memberi contoh berbagai tokoh, termasuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang memilih hidup dalam kesederhanaan atau kemiskinan. Saya salut pada Nabi dan pada siapa pun yang dengan bebas memilih menjadi miskin. Padahal kita hidup di tengah nafsu dan kecenderungan banyak orang untuk mengejar kekayaan dan kemakmuran. "Inilah era ketamakan," kata Stiglistz, peraih Nobel Ekonomi. Nah, mereka yang memilih menjadi miskin itu mampu membebaskan dirinya DALAM kemiskinan. Mereka mampu mengontrol nafsu dan hasratnya. Mereka manusia bebas. Merdeka! Kesederhanaan atau kemiskinan adalah pilihan mereka sendiri. Inilah pembebasan dalam kemiskinan! Kita tidak akan mempersoalkan pilihan seseorang. Persoalannya tidak berhenti sampai di sini.
Persoalan besar yang kita hadapi adalah banyak orang yang memang dibelenggu oleh kemiskinan. Mereka dipaksa menjadi miskin! Miskinnya mereka bukanlah pilihan! Mereka mengalami ketidakadilan dan penindasan struktural. By designed! Mereka menjadi miskin bukan saja karena ketamakan orang lain. Lebih dari itu, mereka miskin, mengutip Stiglitz, karena kebijakan politik.
Para ekonom boleh saja bekerja keras untuk memperbesar kue ekonomi. Para politisilah yang membuat kebijakan untuk membagi kue itu. Pembagian inilah yang selalu menghasilkan ketidakadilan. Ini persoalan besar yang menyembunyikan bahaya laten. Revolusi Perancis, Peristiwa Tritura, dan runtuhnya Orde Baru adalah efek dari meledaknya bahaya laten itu.
Bagaimana agama menyikapi kemiskinan yang muncul oleh karena ketidakadilan ini? Ternyata beragam! Pertama, teologi kemakmuran atau teologi sukses akan menyalahkan kaum miskin. Kemiskinan mereka itu diakibatkan oleh dosa yang mereka perbuat. Kemiskinan adalah hukuman Tuhan.
Sikap kedua, agama bersikap netral terhadap persoalan kemiskinan. Mengapa? Alasannya karena agama menganggap itu bukan urusannya. Urusan agama adalah soal rohani dan soal keselamatan di seberang sana. Sedangkan kemiskinan adalah soal jasmani. Soal duniawi ini seharusnya ditangani oleh pemerintah. Inilah akar dari sikap apatis institusi agama. Efeknya, kehadiran institusi agama ini sama sekali tidak ada relevansinya bagi orang-orang miskin dan kaum marjinal. Agama menjadi elitis, material dan spiritual.
Sikap Ketiga, agama berjuang dan berpihak kepada mereka yang miskin. Sayangnya perjuangan dan aksinya sangat terbatas. Kebanyakan institusi agama atau lembaga-lembaga sosial keagamaan menolong orang miskin secara karitatif. Artinya, orang miskin diberi bantuan makanan, minuman dan kebutuhan ala kadarnya. Efeknya, mereka menjadi orang-orang yang malas. Mereka menjadi manusia yang tergantung pada bantuan orang lain. Dalam bantuan karitatif itu terjadi semacam simbiosis mutualistis. Yang miskin mendapatkan bantuan ekonomi. Yang kaya dan terutama yang memberi bantuan, mendapatkan kepuasan spiritual, merasa menjadi 'anak saleh!'
Para teolog pembebasan sadar bahwa merski bantuan karitatif atau bantuan langsung itu penting. Tetapi tidak cukup. Bantuan seperti itu tidak membebaskan orang miskin dari kemiskinannya. Padahal mereka butuh pembebasan DARI kemiskinan. Harus aksi yang lebih substanstif! Nah, apa yang harus dilakukan? Dua hal. Pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bukan beri ikan, tetapi berikan pancing. Hal lain adalah transformasi struktural! Untuk yang kedua ini, agama harus mempengaruhi berbagai kebijakan politik agar kebijakan itu berpihak pada kebaikan semua. Tidak ada satu pun yang dimarjinalkan. Saat menjadi Gubernur DKI, Ahok memiliki istilah bagus, yaitu mengadimistrasikan keadilan. Artinya menjadikan keadilan bagi semua sebagai kebijakan publik.
Meskipun demikian, upaya mempengaruhi kebijakan publik ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangannya sangat berat! Salah satunya adalah karena berbagai keputusan politik menyangkut kebijakan publik selalu dipengaruhi oleh kepentingan kaum elite politik dan kaum oligarki. Ini persoalan serius dan besar. Tetapi ini topik baru yang dibahas pada kesempatan lain saja.
Salam untuk Kyai Faqih Abdul Kodir dan Kyai Mamang Haerudin.